Pages

Jumat, 20 Mei 2016

Bolehkah membayar fidyah dengan uang ?


Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin diuraikan, “Perlu kita pahami satu kaidah penting, bahwa ketika Allah menyebut dalam Al-Quran dengan lafal ‘ith’am‘ (memberi makan) maka kita wajib menunaikannya dalam bentuk bahan makanan. Tentang orang yang tidak mampu puasa, Allah berfirman,

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

‘Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.‘ (Q.s. Al-Baqarah:184)

Tentang kafarah sumpah, Allah berfirman,

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَساكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ

‘… Maka kafarah (akibat melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau ….‘ (Q.s. Al-Maidah: 89)

… Semua dalil yang disebutkan dalam Alquran dan Sunah diungkapkan dengan lafal ‘makanan’ atau ‘memberi makan’, sehingga dia tidak boleh diganti dengan uang.

Oleh karena itu, orang tua yang wajib membayar fidyah karena meninggalkan puasa, tidak boleh mengganti (pembayaran fidyahnya) dengan uang. Andaikan dia bayarkan dengan uang, senilai sepuluh kali nilai makanan maka itu tetap tidak sah, karena dia menyimpang dari ketetapan yang telah ditentukan dalam dalil.

Karena itu, kami nasihatkan kepada orang yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua, bayarlah fidyah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkan. Cara memberi makan ada dua:

    Diantarkan ke rumah orang miskin, sebanyak seperempat sha’ (ada yang mengatakan setengah sha’:1,5 kg) beras beserta lauknya.

    Memasak makanan dan mengundang sejumlah orang miskin yang wajib diberi makan, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik. Ketika beliau tua dan tidak bisa berpuasa, beliau memberi makan 30 orang miskin di akhir hari bulan Ramadan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 19:116; sumber: www.islamqa.com)

Selasa, 17 Mei 2016

Batalkah wudhu kita apabila bersentuhan dengan istri/suami ?

Pertanyaan:

Bagaimana hukum bersentuhan dengan istri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?

Dari: Maulana

Jawaban:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat al-Majmu’ 2:34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

“Atau kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi).

Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil Pertama:

Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21:235).

Dalil Kedua:

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Allamah as-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1:104.

Dalil Ketiga:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1:638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadis dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar asy-Syaukani 1:187, Subulus Salam as-Shan’ani 1:136, Tuhfatul Ahwadzi al-Mubarakfuri 1:239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1:142).

Dalil Keempat:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4:152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadis. (Lihat at-Tamhid 8:501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir al-Qurthubi 5:146).

Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35).

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.

Pendapat Ketiga:

Rincian:

Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat. Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan” (Lihat al-Mughni 1:260 Ibnu Qudamah).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu:

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ (hubungan suami istri) berdasarkan argumen sebagai berikut:

Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259).

Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadis-hadis shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.

Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi