Sample Feature Post 3 Title
All of this content is sample tyr to replace these content every slider to your content descriptions. Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace it.
Selasa, 07 Juni 2016
Jumat, 20 Mei 2016
Bolehkah membayar fidyah dengan uang ?
Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin diuraikan, “Perlu kita pahami satu kaidah penting, bahwa ketika Allah menyebut dalam Al-Quran dengan lafal ‘ith’am‘ (memberi makan) maka kita wajib menunaikannya dalam bentuk bahan makanan. Tentang orang yang tidak mampu puasa, Allah berfirman,
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
‘Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.‘ (Q.s. Al-Baqarah:184)
Tentang kafarah sumpah, Allah berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَساكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
‘… Maka kafarah (akibat melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau ….‘ (Q.s. Al-Maidah: 89)
… Semua dalil yang disebutkan dalam Alquran dan Sunah diungkapkan dengan lafal ‘makanan’ atau ‘memberi makan’, sehingga dia tidak boleh diganti dengan uang.
Oleh karena itu, orang tua yang wajib membayar fidyah karena meninggalkan puasa, tidak boleh mengganti (pembayaran fidyahnya) dengan uang. Andaikan dia bayarkan dengan uang, senilai sepuluh kali nilai makanan maka itu tetap tidak sah, karena dia menyimpang dari ketetapan yang telah ditentukan dalam dalil.
Karena itu, kami nasihatkan kepada orang yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua, bayarlah fidyah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkan. Cara memberi makan ada dua:
Diantarkan ke rumah orang miskin, sebanyak seperempat sha’ (ada yang mengatakan setengah sha’:1,5 kg) beras beserta lauknya.
Memasak makanan dan mengundang sejumlah orang miskin yang wajib diberi makan, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik. Ketika beliau tua dan tidak bisa berpuasa, beliau memberi makan 30 orang miskin di akhir hari bulan Ramadan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 19:116; sumber: www.islamqa.com)
Selasa, 17 Mei 2016
Batalkah wudhu kita apabila bersentuhan dengan istri/suami ?
Pertanyaan:
Bagaimana hukum bersentuhan dengan istri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?
Dari: Maulana
Jawaban:
Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat al-Majmu’ 2:34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:
Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43).
Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi).
Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil Pertama:
Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21:235).
Dalil Kedua:
Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Allamah as-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1:104.
Dalil Ketiga:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1:638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadis dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar asy-Syaukani 1:187, Subulus Salam as-Shan’ani 1:136, Tuhfatul Ahwadzi al-Mubarakfuri 1:239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1:142).
Dalil Keempat:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).
Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4:152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadis. (Lihat at-Tamhid 8:501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir al-Qurthubi 5:146).
Dalil Kelima:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.
Pendapat Ketiga:
Rincian:
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat. Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan” (Lihat al-Mughni 1:260 Ibnu Qudamah).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu:
Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya atau minimal adalah pendapat ketiga.
Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ (hubungan suami istri) berdasarkan argumen sebagai berikut:
Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259).
Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.
Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadis-hadis shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Bagaimana hukum bersentuhan dengan istri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?
Dari: Maulana
Jawaban:
Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat al-Majmu’ 2:34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:
Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43).
Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi).
Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil Pertama:
Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21:235).
Dalil Kedua:
Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Allamah as-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1:104.
Dalil Ketiga:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1:638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadis dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar asy-Syaukani 1:187, Subulus Salam as-Shan’ani 1:136, Tuhfatul Ahwadzi al-Mubarakfuri 1:239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1:142).
Dalil Keempat:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).
Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4:152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadis. (Lihat at-Tamhid 8:501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir al-Qurthubi 5:146).
Dalil Kelima:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.
Pendapat Ketiga:
Rincian:
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat. Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan” (Lihat al-Mughni 1:260 Ibnu Qudamah).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu:
Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya atau minimal adalah pendapat ketiga.
Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ (hubungan suami istri) berdasarkan argumen sebagai berikut:
Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259).
Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.
Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadis-hadis shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Minggu, 02 Agustus 2015
Sembuh SAKIT GIGI dengan Ruqyah
Sakit gigi memanglah sangat menyakitkan. Ketika anda mengalaminya rasanya sungguh tidak enak sekali seperti susah tidur, susah makan,sensitif terhadap berbagai suara yang keras karena dianggap bising, mudah marah, konsentrasi terganggu ketika bekerja dan bahkan kadang-kadang tidak bisa bekerja dibuatnya. Sakit gigi juga bisa membuat seseorang menjadi kehilangan kendali karena konsentrasi sudah terganggu sehingga emosi meledak-ledak.
Sakit gigi biasanya disebabkan kerena gigi anda berlubang ataupun radang pada gusi anda.
Radang pada gusi biasanya merupakan efek dari gigi yang berlubang dan didalamnya ada sisa makanan yang menumpuk dan menjadi kotoran sehingga menyebabkan radang pada gusi.
Maka dari itu usahakan untuk sikat gigi setelah makan dan sebelum tidur, karena dapat mencegah penumpukkan makanan pada gigi yang membuat gigi berlubang.
Cara Meruqyah Sakit Gigi :
1. Ambil 1 buah Bawang putih lalu bakar dan iris
2. Siapkan 1 Sm Bubuk Habbatusauda/Jintan Hitam
3. Lalu campurkan 1 gelas Air putih dan Godoglah Bawang putih beserta Bubuk Habbatusauda/jintam hitam tadi sampai lebur.
4. Bacakan Surat al Mulk Ayat 23 sesuai Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA :
"Barangsiapa yang giginya sakit, hendaklah dia meletakkan di atas gigi yang sakit tersebut sambil membaca ayat ini
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.
5. Lalu bacakan pula :
بسم الله الرحمن الرحيم.
سبحان من احتجب بجبروته عن خلقه فلا عين تراه لا ضدا ولا ند سواه
"Bismillaahirrohmaanirrahiim.
Subhaana manihtajaba bijabaruutihi 'an kholqihi falaa 'ayna taraahu laa dhidda walaa niddun siwaahu.
Masing2 dibaca 3x lalu ditiupkan ke godogan tadi, lalu kumur2kan.
Insyaa Allaah, Bi Idznillaah..
Semoga Bermanfa'at...
1. Ambil 1 buah Bawang putih lalu bakar dan iris
2. Siapkan 1 Sm Bubuk Habbatusauda/Jintan Hitam
3. Lalu campurkan 1 gelas Air putih dan Godoglah Bawang putih beserta Bubuk Habbatusauda/jintam hitam tadi sampai lebur.
4. Bacakan Surat al Mulk Ayat 23 sesuai Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA :
"Barangsiapa yang giginya sakit, hendaklah dia meletakkan di atas gigi yang sakit tersebut sambil membaca ayat ini
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.
5. Lalu bacakan pula :
بسم الله الرحمن الرحيم.
سبحان من احتجب بجبروته عن خلقه فلا عين تراه لا ضدا ولا ند سواه
"Bismillaahirrohmaanirrahiim.
Subhaana manihtajaba bijabaruutihi 'an kholqihi falaa 'ayna taraahu laa dhidda walaa niddun siwaahu.
Masing2 dibaca 3x lalu ditiupkan ke godogan tadi, lalu kumur2kan.
Insyaa Allaah, Bi Idznillaah..
Semoga Bermanfa'at...
Rabu, 15 Juli 2015
Bila 1 syawal jatuh pada hari jumat, bagaimana sholat jumat kita?
Bismillahi Rohmaani Rohiim.
Assalamu Alaikum Warakhmatullahi wabarakatuh sahabat muslim.
Taukah sahabat, kemungkinan tahun 2015 ini idul fitri akan jatuh pada hari
jumat. Lalu apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi hal ini... nah kali ini
saya akan membahas mengenai Sholat jumat
pada 1 syawal...
Berikut beberapa pendapat ulama berdasarkan Hadist
Rasullulloh saw.
1.
Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib
melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah
menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari
pendapat ini adalah:Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”
(QS.
Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ
ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat
Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052,
dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini hasan).
Ancaman
keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ
مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi
setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita,
(3) anak kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067,
dari Thariq bin Syihab. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو
عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ،
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah
bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian
beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai
sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya
(dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu
shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan
dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)
2.
Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘ied boleh tidak menghadiri shalat
Jum’at.
Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat
Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa
hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan
pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy,
ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada
Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ
صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ
أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha
bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian
Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat
Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka
silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai
no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan)
Asy Syaukani dalam As-Sailul Jaror (1: 304) mengatakan bahwa
hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). Imam Nawawi dalam
Al-Majmu’ (4: 492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara
shahih dan hasan, pen.). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro
(321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al
Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan
hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa
hadits ini shahih. (Dinukil dari http://dorar.net)
Intinya, hadits di atas bisa digunakan sebagai hujjah atau
dalil.
Kedua: Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah,
ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى
يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى
الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ
عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ
السُّنَّةَ.
“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at
pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu
shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian.
Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun
menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun
mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah
(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al-Khattab melakukan
seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak
menyalahkan perbuatan Ibnu Az-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah
mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak
menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang
menyelisihi pendapat mereka-mereka ini. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah,
Syaikh Abu Malik, 1: 596, Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kesimpulan
– Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk
tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para
sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
– Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah
mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi
marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti
ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan
Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
– Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian
keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti
orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu
memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa
saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az
Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat
Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
– Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat
Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat
‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat
Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat
‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ
الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى
الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan
“hal ataka haditsul ghosiyah”.” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula
ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat
tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim no. 878)
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat
Al-A’laa dan Al-Ghasiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan
dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
– Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah
menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur
sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut
menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya,
ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah
li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8: 182-183, pertanyaan kelima dari
Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)